
“Selamat pagi semua”
“Izin, Selamat pagi Bu”
Dia Sabiya. Perwira muda berprestasi. Seperti biasa, dia selalu menyapa anggotanya. Pagi ini, dia akan berpatroli dengan kawan-kawannya.
Saat mereka sedang bersiap-siap, Sabiya mendengar pengamen cilik bernyanyi. Seketika dia mendekati pengamen tersebut.
Di sini di batas kota ini
Ingin kutuliskan surat untukmu
Biar engkau mengerti perjalanan hidupku
Di dalam menggapai cita-cita
Rintangan yang datang silih berganti
Pedih, perih, mencekam menusuki
Aku mengharap selalu doa suci darimu
Duhai, kasih, tambatan hatiku
Saat mendengar anak itu bernyanyi, Biya teringat perjalanannya untuk menjadi tentara wanita yang tentu tak mudah.
Kukenang lagi saat menjelang perpisahan
Kau menangis di pangkuanku
Begitu tulus akan cinta kasihku
Semakin pilu aku mengenangmu
Mungkinkah kau masih mengharapkanku?
Kini tubuhku penuh dengan luka
Gagal dan gagal lagi, apa yang aku cari?
Tangis pedih tersimpan dalam hati
Mungkinkah kau masih mengharapkanku?
Kini tubuhku penuh dengan luka
Aku mengharap selalu doa suci darimu
Duhai, kasih, tambatan hatiku
Sabiya masih mengingat, bahkan melamunkan masa lalunya. Ketika dia pendidikan, ketika berpamitan dengan orang tua, lalu saat praspa.
Kukenang lagi saat menjelang perpisahan
Kau menangis di pangkuanku
Begitu tulus akan cinta kasihku
Semakin pilu aku mengenangmu
Mungkinkah kau masih mengharapkanku?
Kini tubuhku penuh dengan luka
Gagal dan gagal lagi, apa yang aku cari?
Tangis pedih tersimpan dalam hati
Gagal dan gagal lagi, apa yang aku cari?
Tangis pedih tersimpan dalam hati
Saat lagu selesai pun Biya belum kembali dari lamunannya. Dia teringat, pada waktu itu.
“Ehh dia anak miskin itu ya?”
“Anak perempuan bisanya cuma nyusahin”
“Palingan gak bakal tamat sekolah”
“Halah orang miskin itu, pasti bodoh gak punya prestasi”
Dan masih banyak lagi. Pada saat itu dia hanya diam, karena dia ingin membuktikan pada dunia, bahwa yang miskin bukan berarti berhenti untuk terus mencari masa depan yang cerah.
“Jadilah orang yang sukses dengan kebolehanmu, dan dengan kerja kerasmu itu bungkam mereka yang meremehkanmu” itulah kata-kata Ibu yang selalu Biya ingat.
Kalimat itu terus mendorong Biya membanggakan orang tuanya. Mulai dari mengikuti berbagai lomba dari yang akademik sampai non-akademik. Setelah mengikuti berbagai lomba Ia dapat membuat bangga orang tua dan sekolahnya dengan menorehkan berbagai prestasi.
Setelah semua yang di lewatinya, dia sekarang berhasil menggapai cita-cita yang dulu setinggi langit dan sekarang melekat dalam nadi. Di usia mudanya ini, ia mendapatkan berbagai penghargaan. Semua orang bahkan sudah mengenalnya.
Lamunannya buyar, ketika dikagetkan dengan sebuah tangan menepuk lengannya. Ternyata, pengamen cilik itu yang mengagetkannya.
“Kaka baik-baik saja?” Tanya anak tersebut
“Ah..ya… kakak baik-baik saja kok” Balas Biya.
Setelah sadar, Biya memberi sejumlah uang untuk anak tersebut. Anak itu lalu berterima kasih dan pergi. Setelah anak itu berlalu, Biya menatap sekeliling. Dia melihat anggotanya menatap dirinya dengan heran, karena sedari tadi Biya hanya berdiri tegak seperti patung.
“Kenapa kalian melihatku seperti itu?, Ayo berangkat”. Kata Biya
“Siap, baik Ibu”. Jawab mereka kompak
Setelah itu mereka berangkat berpatroli.
Dari cerita tersebut, kita dapat mengerti dan memahami satu hal.
Di hina bukan berarti mundur, namun buat hinaan itu menjadi dorongan dan motivasi agar kamu terus maju.
Diam bukan berarti kalah, karena diamnya seseorang adalah untuk menunjukkan keberhasilannya.
Baturetno, 17 Juni 2021
By: Nafila Maulia Azzahhra
Kelas: IX B