Prajurit Semalam

Kali ini aku sendirian di rumah. Ayah ibuku sedang mendapatkan tugas ke luar kota. Kakakku yang baru akan pulang semester depan membuatku jenuh sendirian. Aku memilih untuk bermain telepon genggamku sambil merebahkan diri ke kasurku yang empuk.
“Hash, ini membosankan,” gumamku lalu bangkit berdiri. Melihat keadaan kamarku yang begitu kotor ini membuat risih pandanganku. Aku membersihkannya, menatanya, sampai aku menemukan sebuah kotak di kolong tempat tidur. Tidak tahu kotak apa itu, sudah berdebu. Aku membersihkan kotak itu, sampai debunya hilang.
“Kotak apa ini? Terlihat menarik” aku membuka kotaknya. Seketika angin yang menyeretku keluar rumah.
“HEEEYY!! APA-APAAN INI KOTAK TIDAK BERGUNA!” Aku berteriak, membuat semua orang melihat ke arahku dengan tatapan ‘Berisik sekali, mengganggu saja.’
Angin itu berhenti, membuat aku terjatuh di halaman belakang. “Uh, sakit,” rintihku. Karena kesal, aku hampir menendang kotak itu. Namun dihentikan dengan suara berat yang teduh.
Seorang laki-laki datang dari kejauhan. ‘Tampan sekali. Seperti pangeran yang ada di dunia dongeng’ kataku dalam hati.
“Hei, jangan menendang kotak itu sembarangan,” katanya.
“Eh, hehehe. K-kau siapa? Dari mana kau datang?” tanyaku terbata. Ayolah, siapa yang tidak kagum dengan laki-laki sepertinya yang berperawakan tinggi, putih, hidung mancung. Dia seperti manekin.
“Aku? Aku ini putra raja. Dan aku dikurung dalam kotak yang akan kau tendang tadi” ujarnya santai. Ia melanjutkan “Dan terimakasih juga untuk membebaskanku.”
“APA?! Eh, aku.. aku… Oh, tidak apa-apa. Aku juga tidak tahu tentang kotak itu, sejak kapan ada di kolong tempat tidurku,” kataku yang masih terbata.
“Kenapa kau dikurung di dalam sana, Pangeran?” tanyaku langsung.
“Kali itu dalam peperangan, aku terpisah dari pasukan, dan Si Licik Jelek itu menggunakan kesempatan. Aku dikurung. Untuk menebusnya, Si Licik itu meminta agar kerajaan diberikan sepenuhnya untuknya”.
“Namun ayahku tidak mau memberikannya. Mungkin sekarang telah terjadi peperangan lagi,” dia meceritakan dengan mata yang begitu memendam amarah. Mungkin dia masih dendam.
“Dan bagaimana aku menolongmu?” “Apakah kau bisa memanah?” tanyanya. “Bisa mungkin, karena aku juga sempat mengikuti les memanah,” kataku.
“Syukurlah. Aku mendengar, Si Jelek itu mengatakan bahwa ada mantra dibalik kotak itu untuk mengembalikanku ke kerajaan.”
Aku mengikuti perkataannya. Ku ambil kotak itu lagi, lalu mencari cari dimana mantra itu.
“Ah! Ketemu.. Ini pangeran? Mantranya beruca-”.
“Berikan itu kepadaku!” Ya Tuhan perkataanku dipotong. Ia mengucapnya keras keras “Revenante reen Mi volas reiri al mia mondo. Revenante reen Mi volas reiri al mia domo!”.
SYYUUUSS.. Mantra itu membawaku dan dia ke Kerajaan. Sebelumnya aku berkata kepadanya, jika dia ingin mengalahkan ‘Si Licik Jelek’ itu maka saat musuhnya mendekat pangeran harus menahannya dan tusuk tepat pada jantungnya.
Kami sampai disana sudah dalam keadaan menunggang kuda dan memakai baju zirah. Namun kami masih di dalam kerajaan.
“Hey, kenapa aku juga memakai baju ini? Kenapa aku diberi busur dan anak panah? Aku ikut berperang?” tanyaku panjang lebar.
“Iya. Sudah jangan banyak tanya,” ujar pangeran.
“Kita susun strategi. Kau, gadis yang baru saja membebaskanku. Kau akan melawan pasukan depan dengan Edd dan Secil menggunakan panahmu itu. Yang kedua, kalian akan dipimpin oleh Yoryan melawan pasukan tengah. Selanjutnya Qian memimpin pasukan 3, akan melawan pasukan yang terakhir. Lalu sisanya akan berjaga dibelakang. Baik? Paham?” Pangeran menjelaskan dengan singkat dan padat.
Aku bukanlah satu satunya perempuan yang ikut berperang disini. Dan ini juga baru kali pertama aku ikut peperangan.
Kami berangkat menuju medan perang. Mengendarai kuda dan memanah untuk mempertaruhkan nyawa, aku tak pernah bisa membayangkan ini. Di sana terlihat pasukan yang banyak, dipimpin oleh seorang wanita yang terlihat menyeramkan. Mungkin dia penyihir, atau semacamnya? Pikiranku buyar. Untungnya kudaku masih bisa dikontrol.
Kami maju, peperangan dimulai. Berhasil atau tidak, kami yang menanggung.
Aku maju, dengan Edd. Banyak korban berjatuhan.
“SECIL! SEKARANGG!” Aku memberikan aba-aba agar Secil segera meluncurkan anak panah api seribunya itu.
“HHA! Kerja bagus kawann!” ucap Edd karena anak panah Secil tepat sasaran. Pangeran yang berjuang melawan Ratu Licik itu kehabisan tenaganya.
Sia-sia, anak panahku berhasil ditangkis olehnya.
Kali ini waktu yang tepat, ia melakukan teknik yang ku katakan tadi.
“Dann.. Kau.. Tidak akan pernah bahagia selamanya! WANITA LICIK!” Ujar Pangeran penuh penekanan, dan ketika tepat di akhir kalimat, ia menusuk jantung ratu tidak berguna itu.
Seketika, semua pasukannya hilang seperti debu ditiup angin. Ratu itu mati, kehidupan yang menjanjikan terwujud. Pangeran di angkat derajat menjadi Raja di Kerajaannya. Aku yang ikut menyaksikan merasa terharu, aku telah membantunya berjuang.
Setelah upacara selesai, aku mengucapkan selamat dan terimakasih kepada Pangeran. Ah, tidak maksudku Raja. Lalu aku dikembalikan ke kehidupanku dengan mengucap mantra yang tadi. Semuanya tidak terduga, setelah aku sampai di rumah. Keluargaku telah berkumpul di ruang tengah. Dan keadaan kamarku yang masih berantakan. Aku tertawa memasuki rumah. Tersenyum bahagia.

‘TERIMA KASIH TUHAN. KAU MEMBERIKAN PENGALAMAN YANG BERHARGA DAN TAK AKAN PERNAH TERLUPAKAN UNTUKKU’

TAMAT

By: Berlian Diba Nur Rizky